Gurita 12,69's Fan Box

Gurita 12,69 on Facebook

Minggu, 17 Januari 2010

T I D U R

Aku lahir ke dunia ketika bulan lagi tidur.
Tidur bersama bintang-bintang di awan.
Menunggu mentari berlari mengejar malam.

Sekarang aku lagi tidur-tiduran di atas ayunan.
Yang ku ikat di dinding terjal pegunungan.
Angin lembah yang bertiup membuat ku terlelap.

Tangan kanan ku menggenggam sebuah jam antik.
Tangan kiri ku memegang sebilah pedang.
Jam antik yang akan membangunkan aku dengan gema lonceng nya.
Yang langsung mengetuk relung jiwa.
Jika aku terbangun.
Aku akan melangkah melewati tebing-tebing curam.
Pergi jauh mengembara dengan menggenggam pedang.
Yang ku asah pada embun pagi yang menempel di dedaunan kering.
Dengan pedang ini aku merasa berani menatap gerbang kematian.
Kematian yang merupakan tidur panjang.

Sebelum kematian memanggilku.
Ku torehkan mata pedang pada bebatuan rekah.
Ku ukir puisi-puisi indah.
Yang syairnya akan menebar aroma kedamaian.
Sedamai matahari yang memeluk bumi dan rembulan yang mencumbui bintang-bintang.

Sebelum aku tidur di rahim bumi.
Tatap lah mata ku.
Ada lukisan laut yang berubah menjadi gunung.

Ketika tangan ku sedang memainkan pedang.
Bongkahan batu di dasar hati ku mencair.
Cairannya akan ku siram untuk kasih yang ditebarkan di bumi.
Sebelum bumi tidur.
Sebelum matahari tidur.
Sebelum rembulan tidur bersama bintang.
Sebelum aku tidur di rahim bumi.


(Pangkalan Kerinci, Januari 2002)

TERBANG MENGEMBARA

Sebentar lagi air akan mencurah dari langit.
Ada pertanda, lewat lambaian pucuk-pucuk kelapa.
Gesekan nya terdengar riuh membahana.
Kilatan kilat terlihat sempurna.
Dengarlah.....dengarlah....gemuruhnya terdengar di genteng.
Menangislah...menangislah.
Ungkapkan lah kesedihanmu pada Sang Pencipta tatkala hujan memeluk bumi.
Setelah tangisan mu terhenti.
Sematkan lah Pin Burung Garuda di dada kanan mu.
Terbanglah....terbanglah kemana kau suka.
Sebab engkau berhak menikmati kemerdekaan di Negara mu.

(RIAU, 16-06-2003...........04-11-2009)

RAKSASA ANGKARA MURKA

Seringaimu mengerikan.
Mengingatkan pada cerita Legenda Nenek Gergasi.
Yang selalu di dongengkan oleh Bundaku ketika malam mencumbui rembulan.

Engkau merubah dirimu menjadi Raksasa Angkara Murka.
Sinar matamu mengisyaratkan kebencian yang mendalam.

Aku tahu, zaman telah merubahmu menjadi monster menakutkan.
Tekanan kehidupan yang membuat dirimu membenci kepura-puraan.
"Itu Munafik..!!!", kata mu.

Lalu ketika semua orang turun kejalan.
Engkau ambil tongkat komando untuk melakukan Revolusi.
Engkau runtuhkan tembok kesombongan para Kapitalis yang telah menepikan mu.
Engkau bakar istana-istana emas yang di bangun dari pundi-pundi korupsi yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat negeri.
Engkau usung keranda Perlawanan Tirani.
Engkau teriakan slogan-slogan penuh bukti yang tentu saja bukan janji-janji.

Aku tahu niat mu suci.
Tapi yang ku minta dari mu, "Janganlah menjadi Raksasa Angkara Murka".
"Jadi lah Raja Adil bagi Negeri".

Dibalik aksi suci mu, Kami selalu berada di belakangmu memberikan suntikan moralisasi agar jangan engkau malah berbalik menjadi "Raksasa Tanpa Peduli"

Riau, 20-09-2002....................05-12-2009.

TELANJANGI KEPEDIHAN

Ratapan ketidakpastian
Gelap yang temaram
Senandung ketidakmengertian
Kabut ketidaksadaran
Mahligai yang diidamkan
Hasrat yang terpendam
Kedigdayaan yang mumpuni
Tuhan yang menguji
Badai nestapa yang menggayut
Jerit Kepedihan
Tawa Kegalauan

Tawa itu terdengar seperti jerit kepiluan
Dan tangisan itu semakin menyayat relung hati
Pena tak lagi bisa menari
Pikiran terbius benda menyiksa
Terduduk dalam resah
Menggelepar tak berdaya
Tak mengerti mengapa terjadi
Kebingungan yang membeku

Kasih sayang kini berubah bersama perjalanan waktu yang lelah
Selaksa hati pedih
Airmata tak mampu menjawab arti apa yang terjadi
Tirai kerinduan terkoyak
Pelabuhan telah mengecil
Badai menghantam buritan
Kemudi patah kendali
Tak mampu menembus kabut menggapai kebahagiaan

Burung-burung terbang mengangkasa
Desah nafas mengepak sengau
Tikaman kehidupan bak panah menghujam hulu hati
Perih tak terperihkan

Pesona kembang seruni
Membutakan mata hati
Berjalan tertatih-tatih dibalik resah yang membuncah
Menembus pekat malam disertai lambaian Selamat Tinggal

Nafsu menggelora dalam jiwa
Roh-roh yang tak terpuaskan
Mimpi-mimpi menakutkan tak lagi dihiraukan
Berlomba bersama detik waktu
Telanjangi Kepedihan

(Riau, 2003..................2010)

REINKARNASI

Ketika aku berdiri di atas karang lautan.
Deburan ombak memercik dan membelai lembut sepasang kaki ku yang terbungkus salju.
Kristal mataku menatap tajam kedalaman lautan yang penuh dengan gejolak.
Menembus batas ketidak mengertian.
Dengan gerakan pelan dalam kepastian.
Wajah resahku bergerak menatap halimun di angkasa yang mengambang.

Seekor camar laut menukik lalu menyambar seekor ikan.
Tunjukkan kebolehan nya mengatasi kehidupan.
Kekaguman bersenandung dalam gelap hatiku.
Jasadku bergetar..................
.......................
Rohku terpaku....................................................
Lalu.............raga ku bermetamorfosa dan keajaiban terjadi.
Dari tubuh ringkih ku keluarlah sepasang sayap lembut yang kokoh dan kaki lunglai ku berubah memiliki cakar yang indah.
Dan yang pasti aku akhirnya menjadi "Seekor Camar".
Aku akhirnya mencoba untuk mengepakkan sayap indahku.
Sejenak tubuh mungil ku melambung.....naik....naik....tinggi....tinggi..... dan akhirnya terbang mengitari panorama lautan nan teduh.
Jiwa Camar telah aku miliki.
Aku terbang berpetualang melewati karang-karang kokoh, samudera yang membentang, dan menembus awan lembut yang membelai tubuhku.
Aku terbuai dalam damai.

Sendiri ku arungi perjalanan penuh makna kehidupan yang di bungkus bingkai waktu.
Ketika aku ingin menikmati kerimbunan belantara.....mencoba untuk lepas dari hamparan kesia-siaan.
Segerombolan pemburu liar lepaskan tembakan.
Peluru nya melesat bak halilintar menembus hulu hatiku.
Sejenak tubuhku menggelepar, dan akhirnya tubuh tercabik ku lemah dan jatuh dihelaian daun-daun tua yang berserakan.
Sayup-sayup telingaku mendengar tawa penuh kemenangan dengan sukacita yang lantang terlepas dari rongga tenggorokan para pemburu kepuasan.
Menikmati kesenangan dan kebahagiaan disela tersengalnya nafasku.
Darah mengalir dari luka hatiku.
Membasahi sekujur tubuhku.
Yang terkapar dalam ketidak-berdayaan
Aku mencoba bertahan, serta berharap mukjizat menyelimuti kepiluan ku.
Dan tak terasa kemudian tubuh ku berubah wujud seperti semula.
Kini aku jadi manusia lagi yang akan menjalani siklus kehidupan dengan sebuah kata mujarab yang ku petik dari hati sang camar yang malang.
"No Problem".

Yogyakarta, ....................2000